Example floating
Example floating
BeritaDaerahNasionalSumut

SHI: Bencana Ekologis di Ekosistem Batang Toru Bukan Musibah Alam Biasa

17
×

SHI: Bencana Ekologis di Ekosistem Batang Toru Bukan Musibah Alam Biasa

Sebarkan artikel ini
(Dari kanan ke kiri) Ketua Umum SHI Ade Indriani Zuchri, Ketua DPW SHI Sumatera Utara Hendra Hasibuan, dan MPA SHI Muchlis Ismail
(Dari kanan ke kiri) Ketua Umum SHI Ade Indriani Zuchri, Ketua DPW SHI Sumatera Utara Hendra Hasibuan, dan MPA SHI Muchlis Ismail. (Foto: Ist)

PIONERNEWS.COM, TAPANULI SELATANKetua Umum Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Ade Indriani Zuchri, menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap kondisi memilukan yang kini menimpa kawasan di sekitaran ekosistem Batang Toru.

Ade menegaskan, rangkaian banjir bandang, longsor, dan hilangnya ruang hidup masyarakat di kawasan tersebut bukanlah bencana alam biasa. Tetapi, merupakan bencana ekologis akibat proses panjang pembukaan hutan dan ekspansi industri ekstraktif sejak awal 1990-an.

Harmoni Sosial-Ekologis yang Kini Terkikis

Menurut Ade Indriani Zuchri, sebelum masuknya perkebunan kelapa sawit, pertambangan emas, dan proyek besar seperti pembangkit listrik tenaga air, masyarakat sekitar Batang Toru hidup selaras dengan alam. Hutan jadi pusat kehidupan, sumber pangan, air, obat-obatan, hingga ruang budaya dan spiritual.

“Masyarakat mengelola tanah secara selektif dan berkelanjutan. Sistem agroforestri dengan padi ladang, jagung, ubi, kopi kampung, kemenyan, rotan, hingga damar, membuat DAS (daerah aliran sungai) Batang Toru stabil selama puluhan tahun,” jelas Ade dalam rilis pers yang diterima, Rabu (26/11/2025).

Warga juga berkali-kali menyampaikan, mereka tidak pernah mengalami banjir besar seperti, yang terjadi beberapa tahun terakhir. Sungai Batang Toru dulu jernih dan stabil karena tutupan hutan yang terjaga dan tanah yang mampu menyerap air dengan baik.

Ketika Industri Ekstraktif Masuk dan Hutan Rontok

Sementara, Ketua DPW SHI Sumatera Utara, Hendra Hasibuan, mengatakan, harmoni tersebut mulai runtuh ketika investasi besar masuk dengan logika ekonomi yang berorientasi pada akumulasi modal. Jalan perusahaan membuka akses penebangan hutan, bukit digunduli, dan lahan ulayat berubah menjadi HGU.

“Suara burung digantikan deru ekskavator. Ketika pohon ditebang dalam skala luas, tanah kehilangan daya serapnya. Sedikit hujan saja kini bisa berubah menjadi banjir bandang dan longsor,” ujar Hendra.

Ia menambahkan, kerusakan ekologis ini sekaligus menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi ruang hidup masyarakat. Alih-alih jadi pelindung kepentingan publik, negara justru sering memihak kepentingan investasi besar.

“Ditambah lagi dengan lemahnya pengawasan serta penerbitan izin yang kerap mengabaikan daya dukung lingkungan, semakin memperparah keadaan,” kata Hendra.

Ketahanan Pangan Turun, Identitas Budaya Terkikis

Hendra menegaskan, kerusakan Batang Toru bukan hanya soal ekologis, tetapi juga sosial. Hilangnya kebun campuran dan ruang tanam tradisional melemahkan ketahanan pangan masyarakat.

“Warga yang dulu menjadi pemilik lahan kini banyak beralih peran menjadi buruh di tanah mereka sendiri. Identitas budaya masyarakat yang selama puluhan tahun menyatu dengan hutan kini tergeser oleh logika pasar,” bebernya.

Kini, setiap musim hujan tiba, warga yang sebelumnya hidup aman harus diliputi ketakutan. Bukit-bukit yang dulu kokoh kini rawan longsor, sementara hulu sungai yang dulunya hijau kini gundul.

Saatnya Negara Hadir dengan Tegas

Melihat kondisi yang kian kritis, SHI mendesak pemerintah daerah maupun nasional untuk mengambil langkah serius. Batang Toru tidak boleh lagi diperlakukan sebagai ruang bagi eksploitasi tanpa kendali.

Untuk itu, SHI memberikan beberapa rekomendasi ke pemerintah:

  1. Melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin industri ekstraktif dan alih fungsi lahan, baik yang sudah ada maupun yang akan diterbitkan.
  2. Menghentikan sementara ekspansi sawit dan kegiatan industri ekstraktif yang berpotensi merusak DAS Batang Toru.
  3. Melakukan rehabilitasi hutan berbasis masyarakat untuk memulihkan kawasan hulu.
  4. Mengembalikan ruang hidup rakyat, termasuk memperkuat hak kelola masyarakat lokal/adat dan petani.
  5. Membangun sistem peringatan dini dan mitigasi bencana yang memadai untuk melindungi warga.

Batang Toru Masih Bisa Diselamatkan

Meski kritis, Hendra memiliki rasa optimis bahwa, ekosistem Batang Toru masih bisa diselamatkan dengan syarat negara benar-benar berani menata ulang arah pembangunannya.

“Ekosistem Batang Toru pernah menjadi benteng kehidupan. Jangan biarkan ia berubah menjadi bukti kegagalan kita menjaga masa depan,” pungkasnya. (Rel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *