Example floating
Example floating
NasionalOpiniPadangsidimpuanSumut

Profesi Wartawan, Fakta atau Informasi Sensasi?

67
×

Profesi Wartawan, Fakta atau Informasi Sensasi?

Sebarkan artikel ini
Ketua SMSI Padangsidimpuan, Khairul Arief Nasution
Ketua SMSI Padangsidimpuan, Khairul Arief Nasution. (Foto: Dok Pribadi)

Oleh: Ketua SMSI Padangsidimpuan, Khairul Arief Nasution.

PIONERNEWS.COM, PADANGSIDIMPUAN – Usaha pers sebagai media komunikasi massa, dewasa ini, pertaliannya dengan masyarakat amat sangat erat dan tak terpisahkan. Bagi pers, masyarakat merupakan dasar sekaligus sasaran usahanya.

Karena, pers hidup dari dan untuk masyarakat. Maka, pertanggungjawaban pers yang utama adalah masyarakat. Sebaliknya, bagi masyarakat, pers merupakan gantungan informasi untuk mengetahui dan memahami segala kejadian yang berlangsung di seputar kehidupannya.

Karena fungsi pers yang demikian, pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat demikian besar dan memiliki jangkauan yang cukup luas. Tentu tak mengherankan, bila pers oleh sebahagian orang seringkali dianggap momok atau dicurigai dan bahkan ditakuti, tapi juga disegani.

Satu ungkapan menyebutkan bahwa, pena pers lebih tajam dari pedang. Istilah sekarang mungkin bunyinya, satu klikan pers lebih ampuh dari dentuman bom. Pers bisa pembela masyarakat, tetapi bisa juga menjadi alat penguasa.

“Pers yang banyak berdalih atas kegagalan melaksanakan misi yang diembannya, tidak patut kita berikan simpati”. Adam Malik menyampaikan hal itu dalam acara diskusi dengan Harian Pelita Jakarta, pada 23 Maret 1984 silam.

Profesi wartawan profesional, sudah kerap kali memang diuji. Bukan hanya pada era reformasi sekarang, ketika menjamurnya pertumbuhan sejumlah media. Gerbong pertumbuhan media itu, berbarengan pula dengan banyaknya orang-orang yang mendapat predikat wartawan.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, wartawan telah ikut berjuang menyuarakan kemerdekaan itu. Demikian pula pada zaman pra kemerdekaan, peranan wartawan berada di barisan terdepan menentang kolonial yang datang kembali ke bumi nusantara.

Adam Malik yang mendirikan Kantor Berita Antara pada 13 Desember 1937 silam, pernah berkomentar, “Tak mengherankan, ketika dibentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan tegas dinyatakan bahwa, PWI merupakan organisasi perjuangan”.

PWI berdiri sejak 9 Februari 1946 di Surakarta, Solo, Provinsi Jawa Tengah. Tidak salah apabila PWI mendapat predikat organisasi wartawan tertua di Tanah Air.

Idealisme

Ketika bahaya laten komunis memunculkan pengaruh, tidak jarang terjadi sejumlah wartawan profesional diadu-domba dengan penguasa. Tidak sedikit pula yang masuk penjara dan surat kabarnya dibreidel. Ciri utama wartawan profesional waktu itu amat mudah dideteksi yakni, berjiwa Nasionalis dan beridealisme tinggi.

Wartawan sejati tidak dapat menghindar dari fakta. Maka di dalam fakta itu ada kebenaran dan kejujuran. Apabila terdapat sesuatu yang tidak benar di tengah-tengah masyarakat, naluri wartawan terus bergerak menjalankan fungsi kontrol sosial yang salah satu bagian dari tugas pers itu.

Wartawan atau jurnalisme profesional dalam menyajikan berita atau tulisan tetap mengacu kepada fakta yang sebenarnya. Ia terikat kepada Undang-undang No.40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik. Jurnalis profesional memiliki tanggungjawab yang besar untuk menyampaikan informasi yang akurat sesuai fakta ke masyarakat pembaca.

Suatu pemahaman yang perlu diberitahukan kepada masyarakat pembaca bahwa, jurnalis profesional menyajikan berita sesuai fakta. Dari fakta yang akurat tersebut dapat diangkat menjadi sejarah edukatif untuk mendidik rakyat.

Adanya peranan masyarakat berpartisipasi untuk menyebarkan informasi ke publik, menjadi tantangan tersendiri untuk media cetak di masa datang. Beredarnya berita atau tulisan tanpa melalui tahapan verifikasi, sehingga muncul berita yang diragukan kebenarannya.

Demikian luaskah orang mengimplementasikan Undang-undang tentang kebebasan pers itu? Patut diduga, nasibnya mungkin hampir sama dengan demokrasi yang kebablasan. Bertebaran berbagai informasi di jagad dunia maya, diiringi menculnya sejumlah media cetak lokal dengan hanya mengandalkan modal keberanian semata.

Dengan demikian beredar cukup luas informasi yang bersifat sensasional mengabaikan fakta. Masyarakat pembaca juga bingung, yang mana media layak dibaca. Di tengah kegaduhan berita sensasional itu, masyarakat pembaca memang perlu diingatkan dengan istilah yang berbunyi, “Siapa Menabur Angin, Bakal Menuai Badai”.

Konotasi “menuai badai” dalam menerima informasi sensasi, yang muncul adalah pembohongan publik. Andainya secara rutinitas menerima informasi-informasi sensasi, tidak didasari fakta dan tidak ada perimbangan maka lahirlah generasi-generasi pemimpi.

Indentifikasi generasi-generasi pemimpi itu tidak mau bekerja keras. Dilarangkah orang jadi pemimpi? Larangan untuk jadi orang pemimpi tentu tidak ada.Tetapi orang-orang tua selalu mengingatkan, jangan seperti pemimpi penyadap air nira di Pohon Aren.

Penyadap air nira di Pohon Aren dengan mudah menjadikan pelepahnya menjadi seperti kuda tunggangan. Saking asyiknya berada di atas kuda tunggangan pelepah Aren, pada saat terlena akhirnya jatuh ke tebing terjal.

Fakta atau Informasi Sensasi?

Para penggiat penyebar informasi, sebahagian membuat berita atau tulisan yang bertendensi sensasional, tanpa menyertakan orang-orang yang kompeten di bidang jurnalistik. Di sisi lain ada sejumlah berita sensasi yang dikemas sedemikian rupa, terlihat seperti menyajikan informasi yang benar.

Padahal, berita sensasi tidak ada ubahnya seperti kabut pagi yang merebak. Begitu matahari bersinar, kabut pagi itu sirna tidak membekas. Berita-berita yang disajikan secara sensasional lebih berat timbangan bohongnya daripada faktanya.

Gencarnya berita sensasi beredar di publik, segencar itu pula terjadi pembohongan publik yang disajikan surat kabar abal-abal karena tidak dikelola oleh para jurnalis sejati. Masih ada sebahagian masyarakat yang belum mengerti, yang mana berita fakta dan sensasional itu.

Dalam hal ini masyarakat menjadi bingung, karena tidak ada buat mereka alat pembeda yang mana jurnalisme profesional dan yang mana penyebar informasi sensasional. Sebahagian aparat di daerah, baik di birokrasi maupun penegak hukum menyamaratakan profesi jurnalisme yang hilir mudik dari Kantor satu ke yang lain.

Sebenarnya bagi masyarakat, aparat birokrasi, dan penegak hukum, telah dapat membuat alat ukur secara sederhana. Jurnalisme yang muncul di lapangan apakah memiliki kemahiran menulis berita sesuai anjuran kode etik?

Atau media penyebar informasi apakah sudah memiliki syarat mendirikan media dan komponen orang-orang yang mengelola media tersebut apakah sudah kompeten? Apabila kedua faktor itu tidak terlihat, tentu media-media penyebar sensasi tersebut tidak dapat dijadikan ukuran yang membawa misi edukatif.

Ada anggapan, apabila sudah jadi wartawan sudah hebat. Disegani, bisa menggertak-gertak pejabat yang terindikasi korup. Kemudian dari gertakan itu si pejabat takut lalu memberikan sejumlah uang.

Pada posisi yang lebih tinggi, karena sudah menjalin komunikasi yang instan lalu meminta sejumlah proyek, walaupun profesi yang sesungguhnya bukan kontraktor. Aneh memang, memilih profesi sebagai wartawan apakah murni menjadi wartawan atau memperalat status wartawan untuk ekspansi ke bidang lain.

Atau mungkin dua-duanya. Namun dalam perjalanan karir seorang jurnalis profesional, ia dapat membuat penyeimbang antara idealisme dan pragmatisme. Untuk mendapatkan predikat itu, dewasa ini tidak begitu sulit.

Ada modal sedikit untuk membayar koran telah mendapat predikat wartawan dengan sangat mudahnya dan mendirikan media online dengan singkatnya. Berlatarbelakang pendidikan jurnalistik atau tidak, hal itu merupakan persoalan kedua.

Namun, karya tulis yang dihasilkannya jangan terlalu banyak berharap jadi panduan dalam bekerja. Munculnya sejumlah media lokal di daerah dengan mengandalkan perbendaharaan bahasa yang sangat minim dan kreasi junalistik yang dangkal, tentu sangat menjenuhkan para pembaca di era digital saat ini.(***)

Catatan: Tulisan ini digubah dan disesuaikan dengan kebutuhan redaksional pionernews.com tanpa mengubah makna sebenarnya dari sang penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *