PIONERNEWS.COM, MEDAN – Dalam kurun waktu dua tahun terakhir atau sepanjang 2022 dan 2023, Voice of Forest (Yayasan Suara Hutan Indonesia) mencatat ada 26 kasus perdagangan satwa liar dilindungi di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara (Sumut).
Dari 26 kasus perdagangan satwa liar dilindungi sepanjang dua tahun terakhir itu, penegak hukum telah menetapkan total 53 orang sebagai tersangka. Di dua tahun terakhir ini, Voice of Forest lakukan monitoring atas publikasi kasus perdagangan satwa di media massa.
26 kasus perdagangan satwa liar dilindungi itu, berdasarkan monitoring media massa oleh Voice of Forest selama dua tahun terakhir. Meski begitu, kemungkinan masih banyak lagi kasus yang tidak masuk radar pemberitaan media.
Di mana rinciannya, di Aceh terjadi 13 kasus perdagangan satwa liar pada 2022 dan 7 kasus pada 2023. Sedang di Sumut ada 12 kasus perdagangan satwa liar pada 2022 dan 5 kasus pada 2023.
Adapun jenis satwa terbanyak yang jadi sasaran perdagangan yaitu, Tenggiling. Pada 2022, di Aceh juga terjadi perdagangan satwa berupa 6 ekor Burung Beo Tiong Mas, 2 Lembar Kulit Harimau, satu awetan Beruang Madu, dan 23.8 Kg sisik Tenggiling.
Sementara di Sumut terjadi aksi perdagangan 4 individu Orangutan Sumatera, seekor Binturong, 5 ekor Burung langka, seekor Kera Hitam Sulawesi, seekor Buaya Sinyulong, 20 ekor Buaya Muara, 3 ekor ular sanca, 2 ekor kura-kura kaki gajah, 257 Kg sisik Tenggiling, 10 pcs Paruh Rangkong, dan 8 pcs lidah Tenggiling.
Di 2023, di Aceh ada 2 individu Orangutan jadi objek perdagangan, 2 lembar kulit Harimau, dan sebuah Gading Gajah. Sedangkan di Sumut ada 2 individu Orangutan Sumatera yang jadi sasaran perdagangan, seekor Burung, 80 ekor Blangkas, selembar kulit Harimau, 197 Kg sisik Tenggiling, dan 5 pcs Paruh Rangkong.
Lebih Tinggi Angka Kasus dari Penindakan atau Publikasi
Prayugo Utomo, anggota Voice of Forest, dalam ConservaTalk yang berlangsung di Kota Medan, Selasa (16/1/2024) petang, memaparkan, dalam dua tahun terakhir ini, angka kasus dan jumlah pelaku memang cenderung menurun.
“Namun kami meyakini, bahwa angka kasusnya lebih tinggi dari penindakan atau pun yang terpublikasi. Kami masih melihat sejumlah kasus yang tidak terungkap,” kata pria yang juga Jurnalis IDN Times ini dalam rilis resmi yang diterima awak media, Rabu (17/1/2024) pagi.
Sehingga, kata Yugo, sapaan karibnya, tiap bulan terjadi rata-rata satu kasus pedagangan satwa liar di Provinsi Sumut dan Aceh. Angka ini, menurutnya, sangat memprihatinkan. Dari hasil monitoring, hampir 95 persen para pelaku merupakan penjual di tingkat tapak. Baik pemburu, agen, atau pun kurir.
“Namun ironisnya, penegakan hukum jarang menyasar hingga ke aktor intelektual dan pengembangan kasus tidak berjalan dengan serius,” imbuhnya.
Yugo melanjut, adapun modus yang paling sering terjadi adalah para pedagang satwa memanfaatkan teknologi jual beli secara online. Selain itu, pedagang acap kali juga memajang satwa pada forum-forum komunitas pecinta satwa.
Transaksi Lewat Rekber
Saat bertransaksi, sebut Yugo, para pedagang menggunakan jasa rekening bersama (Rekber) untuk mengelabui aparat. Dalam hal pengiriman barang, para pedagang biasa menggunakan jasa ekspedisi atau langsung mengutus kurir yang akan membawanya.
“Namun, juga tidak jarang terjadi kasus penyelundupan melalui jalur laut,” terangnya.
Ia menilai, dalam hal perdagangan satwa liar ini, keamanan di wilayah laut Indonesia kini, masih terbilang rentan. Para pelaku, menurut Yugo, masih dengan mudah mengelabui aparat keamanan laut untuk menyelundupkan satwa.
Baginya, perdagangan satwa adalah kejahatan yang terorganisir sangat rapi. Mulai dari tingkat tapak hingga pembeli akhir. Bahkan di sejumlah kasus, sambung Yugo, ada dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dan militer.
Ia menuturkan, Wildlife Justice Commisions mencatat, perdagangan satwa menjadi kejahatan global paling menguntungkan keempat saat ini, setelah narkoba, manusia, dan senjata api. Artinya, tegas Yugo, kejahatan satwa termasuk Extra Ordinary Crime (kejahatan luar biasa) jika melihat dari berbagai aspek.
“Dalam investigasi yang pernah kami lakukan, kami temukan satu kasus perdagangan satwa yang proses pengendaliannya terjadi dari dalam Penjara. Pelakunya juga merupakan residivis dalam perkara yang sama. Seolah, tidak ada efek jera ketika pelakunya sudah menjalani hukuman,” beber Yugo.
Menurutnya lagi, langgengnya kasus perdagangan satwa memiliki dampak buruk yang berkesinambungan. Bahkan, kepunahan akan semakin cepat terjadi. Berkurangnya satwa di alam liar menghilangkan fungsinya di dalam ekosistem alami.
“Perubahan ekosistem tentu akan berdampak pada percepatan laju perubahan iklim yang menjadi isu global,” tukasnya.
Tren Unik Perdagangan Satwa
Sementara itu, Direktur Konservasi Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Muhammad Indra Kurnia mengatakan, pihaknya menemukan fakta yang unik dalam kasus perdagangan satwa.
Di mana, tren perdagangan yang terjadi di Aceh mendominasi pada bagian tubuh satwa tersebut. Untuk Sumut perdagangan satwa hidup yang mendominasi. Hal ini, jika melihat dari barang bukti satwa yang juga terpantau oleh Indra dan lembaganya selama kurun waktu 2016 hingga 2023.
Mereka, kata Indra, juga memantau vonis hukuman dalam kasus satwa yang ia nilai eksekusinya jauh panggang dari api. Dari total 144 pelaku yang tertangkap selama 7 tahun terakhir di Aceh dan Sumut, hanya 3 orang yang di hukum di atas 3 tahun penjara.
Sementara 141 orang lainnya, lanjut Indra, di hukum kurang dari 3 tahun penjara. Seluruh pelaku tertangkap dari total 92 kasus yang terjadi pada 2016 hingga 2023. Ia juga menyoroti soal potensi kerugian keuangan negara dalam kasus perdagangan satwa ini.
Ia membeberkan, dalam 7 tahun terakhir, kasus perdagangan satwa di Aceh dan Sumut ini, berakibat pada kerugian keuangan negara senilai Rp288.3 miliar. Valuasi ini merujuk pada perhitungan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Ini yang saya sebut bukan harga satwa yang di perdagangkan di Pasar gelap. Ini terhitung harga valuasi, seperti biaya membawanya dari alam, di rehabilitasi, operasi penindakan sampai satwa itu kembali lagi ke habitatnya,” ucap Indra.
Sebagai ilustrasi, urai Indra, jika Rp288 miliar, di konversikan ke harga satu bibit pohon Hutan dengan nilai Rp20 ribu, maka bibit itu bisa untuk menghutankan kembali Lahan yang setara dengan luas 12.133 lapangan sepakbola berstandar FIFA.
Indra berpendapat, perdagangan satwa masih membutuhkan perhatian serius lintas pihak. Masifnya perdagangan, menjadi ancaman bagi kelangsungan keanekaragaman hayati. Jurnalis, pegiat lingkungan, akademisi dan kelompok lainnya bisa berkolaborasi bersama mencegah perdagangan satwa liar ini.
“Lindungi yang tersisa, lestarikan yang punah,” katanya.
Voice of Forest berharap Conservatalk ini, menjadi pemicu positif kepada para Jurnalis agar semakin peka dengan kasus-kasus perdagangan satwa. Melakukan pendalaman isu serta tetap menjadi media kritik kepada pemerintah.
Desakan Voice of Forest
Sehingga pemerintah terdorong untuk menekan angka kasus setiap tahunnya. Lewat Conservatalk ini, Voice of Forest secara terbuka menyampaikan desakan sebagai berikut:
1. Mendesak pemerintah lebih giat lagi memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya perdagangan satwa.
2. Mendesak pemerintah memperkuat penindakan kasus perdagangan satwa.
3. Mendesak pemerintah melakukan penguatan keamanan laut yang menjadi jalur perdagangan satwa.
4. Mendesak pemerintah untuk memperkuat aparat penegak hukum tentang perdagangan satwa liar.
5. Mendesak KLHK melakukan koordinasi lintas kementerian untuk mencegah perdagangan satwa liar dilindungi di dunia maya.
6. Mendesak pemerintah memperkuat kolaborasi dengan jaringan keamanan Internasional.
7. Mendesak pemerintah melakukan revisi Undang-undang No.5/1990.(Rel)