Example floating
Example floating
BeritaDaerahLifestyleSumutTapanuli Selatan

Ecobrick, Jalan Baru Ubah Sampah Bernilai Ekonomis di Lingkar Tambang Emas Martabe

158
×

Ecobrick, Jalan Baru Ubah Sampah Bernilai Ekonomis di Lingkar Tambang Emas Martabe

Sebarkan artikel ini
Damai Mendrofa, selaku Ketua Bank Sampah Yamantab, memberi contoh ketangguhan Ecobrick hasil pengepulan dari ibu-ibu rumah tangga di sekitar lingkar tambang emas Martabe yang dapat diubah menjadi kursi sederhana kokoh untuk diduduki
Duduki Ecobrick: Damai Mendrofa, selaku Ketua Bank Sampah Yamantab, memberi contoh ketangguhan Ecobrick hasil pengepulan dari ibu-ibu rumah tangga di sekitar lingkar tambang emas Martabe yang dapat diubah menjadi kursi sederhana kokoh untuk diduduki. (Foto: M Reza Fahlefi)

PIONERNEWS.COM, TAPANULI SELATAN – Siang itu, Kamis (11/09/2025), halaman Kantor Lurah Aek Pining di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), tampak lebih ramai dari biasanya. Tampak, puluhan ibu rumah tangga membawa botol-botol air mineral bekas berukuran sedang berisi potongan kecil sampah plastik.

Ternyata, botol-botol tersebut dibawa ibu-ibu rumah tangga itu untuk dijual. Botol-botol padat berisi potongan sampah plastik yang disusun rapat itu bernama, Ecobrick (batu bata ramah lingkungan). Setiap botol Ecobrick yang lulus pengecekan, dihargai Rp6.000.

Rusliana, ibu rumah tangga yang sehari-hari berjualan jajanan anak-anak di sekitar lingkar tambang emas Martabe, terlihat sumringah usai menerima uang hasil penjualan 6 botol Ecobrick yang dibuatnya, lewat program kerja sama antara PTAR dan Bank Sampah Yamantab
Menjual Ecobrick: Rusliana, ibu rumah tangga yang sehari-hari berjualan jajanan anak-anak di sekitar lingkar tambang emas Martabe, terlihat sumringah usai menerima uang hasil penjualan 6 botol Ecobrick yang dibuatnya, lewat program kerja sama antara PTAR dan Bank Sampah Yamantab. (Foto: M Reza Fahlefi)

Inisiatif ini lahir dari kerja sama PT Agincourt Resources (PTAR), selaku pengelola Tambang Emas Martabe, dengan Bank Sampah Yamantab. Sejak Juli 2025 lalu, PTAR dan Bank Sampah Yamantab menggelar sosialisasi pengelolaan sampah jadi Ecobrick.

PTAR dan Bank Sampah Yamantab menggerakkan masyarakat sekitar lingkar tambang untuk mengubah sampah plastik rumah tangga menjadi produk bernilai ekonomis. Dan tentu saja, saat pengepulan Ecobrick digelar, ibu-ibu rumah tangga terlihat antusias menyambutnya.

Sampah Rumah Tangga Jadi Cuan

Ibu Rusliana (55), misalnya. Warga Lingkungan IV Kampung Pasir, Kelurahan Aek Pining ini, dengan langkah mantap dari rumahnya berangkat membawa 12 botol Ecobrick hasil kerja kerasnya beberapa hari terakhir ke Kantor Lurah.

Dari 12 Ecobrick yang dibawanya itu, hanya enam yang lulus penilaian karena padat dan memenuhi standar. Meski 6 botol Ecobrick lainnya, ditolak karena isi plastik di dalam botol kurang rapat, namun Rusliana tetap bersyukur.

“Alhamdulillah, hari ini 6 botol (Ecobrick) saya laku, dapat Rp36 ribu,” katanya senang.

Sejak program ini dimulai, Rusliana sudah 3 kali menjual Ecobrick. Pernah, ia berhasil menjual hingga 17 botol ke Lurah. Sebelumnya, penjualan pertamanya menghasilkan 8 botol. Meski proses membuat Ecobrick cukup melelahkan karena harus menekan sampah plastik sedikit demi sedikit agar padat, Rusliana tetap semangat.

“Kami biasanya mengumpulkan plastik dari rumah sendiri. Sehari-hari saya jualan jajanan anak-anak bersama suami, jadi sisa plastik bungkus kadang banyak. Itu saya manfaatkan. Dalam membuat Ecobrick, suami saya juga ikut bantu. Jadi walaupun capek, kami merasa senang,” cetusnya.

Berkat program mengubah sampah jadi cuan ini, Rusliana mengucapkan terima kasih kepada PTAR dan Bank Sampah Yamantab. Karena, yang tadinya ia tak percaya sampah bisa bernilai ekonomis, kini terlihat nyata di hadapannya lewat program PTAR bersama Bank Sampah Yamantab.

“Kami, masyarakat ini memang mulai sadar. Program Ecobrick ini, mungkin bukan sekedar cari tambahan uang, ya. Tapi, saya lebib puas karena sampah plastik yang biasanya dibakar atau dibuang begitu saja, bisa berubah menjadi pengganti batu bata,” tandasnya.

Kisah serupa juga datang dari Ibu Sri Nurhidayati (48), ibu rumah tangga yang juga berjualan jajanan anak-anak di Kampung Pasir. Sampah plastik dari tempat usahanya dulu sering menumpuk dan menjadi masalah. Kini, ia punya cara baru mengatasinya yaitu, memasukkannya ke botol bekas hingga menjadi Ecobrick.

Hari itu, ibu satu anak ini berhasil menjual 4 botol Ecobrick dengan harga Rp24 ribu. Semua proses pembuatan ia kerjakan sendiri. Meski belum banyak, ia mengaku puas karena mendapat tambahan penghasilan sekaligus solusi mengelola sampah.

“Program ini bagus sekali. Harapan saya, PTAR dan Bank Sampah Yamantab terus melanjutkan kegiatan ini. Karena kami para ibu rumah tangga jadi punya cara baru untuk mengurangi sampah di sekitar rumah sekaligus dapat penghasilan tambahan,” kata Sri penuh harap.

Target Ubah Sampah Plastik Jadi Ecobrick 2,5 Ton

Di balik semangat ibu-ibu rumah tangga itu, ada peran besar Bank Sampah Yamantab. Damai Mendrofa, selaku Ketua Bank Sampah Yamantab, kepada wartawan menjelaskan bahwa, pengumpulan Ecobrick dilakukan pihaknya secara fleksibel.

Kadang, pihaknya datang langsung atas permintaan warga ketika jumlah Ecobrick sudah terkumpul banyak. Atau bisa juga, warga yang menentukan hari ke Bank Sampah Yamantab untuk pengepulan Ecobrick.

“Sejak Juli sampai sekarang, total sudah ada sekitar 4.700 botol Ecobrick yang terkumpul. Targetnya 10.000 botol sampai Desember nanti. Kalau tercapai, beratnya bisa mencapai 2,5 sampai 3 ton sampah plastik,” tegas Damai.

Menurutnya, Ecobrick adalah solusi praktis untuk daerah dengan pencemaran sampah plastik yang sulit dikendalikan. Semua jenis plastik bisa dimanfaatkan, asalkan kering dan tidak bercampur dengan sampah organik.

Bagi Damai, keberhasilan program ini bukan hanya diukur dari jumlah botol yang terkumpul. Lebih penting dari itu adalah perubahan perilaku masyarakat terhadap sampah plastik.

“Biasanya sampah plastik dibuang atau dibakar. Sekarang ada pilihan lain, bisa disimpan, dimasukkan ke botol, lalu jadi barang bernilai. Dengan cara ini, ada perubahan pola pikir dari yang tidak peduli menjadi peduli. Itu yang paling penting,” ungkapnya.

Ia menambahkan, Ecobrick sudah lama dikenal di dunia internasional melalui Global Ecobrick Alliance (GEA) yang melibatkan ratusan negara. Di banyak negara, Ecobrick digunakan untuk membuat pagar taman, halte, kamar mandi umum, hingga gapura.

Meski tidak dirancang untuk konstruksi berat, namun manfaatnya tetap besar karena mengurangi sampah plastik. Meski begitu, Damai mengaku bahwa, dalam perjalanan proses mengubah perilaku terhadap sampah ini, tantangan tetap ada.

Sebab, tidak semua Ecobrick memenuhi standar. Banyak botol yang kurang padat, basah, atau tercampur sampah organik. Bahkan ada yang dicampur dengan batu. Semua itu membuat kualitas Ecobrick menurun.

“Maka, kalau ada botol yang ditolak, kami imbau warga agar jangan langsung membuangnya. Itu bisa dipakai untuk membuat kursi atau meja sederhana. Di rumah saya, semua kursi dari Ecobrick. Untuk kekuatannya, jangan diragukan, yang penting dikemas menarik misalnya, disemen dengan benar,” tutur Damai memberi contoh.

Kendala lain adalah soal pemasaran. Hingga kini, Ecobrick belum menembus pasar luas. Sebab, tujuan utamanya memang bukan untuk menggantikan batu bata secara komersial, melainkan untuk mengatasi masalah sampah.

Namun, ia menyadari bahwa, keterbatasan pasar sering membuat masyarakat enggan membuat Ecobrick jika tidak ada pembelinya. Menurutnya, pada umumnya masyarakat cenderung berpikir, kalau tidak ada uangnya, untuk apa dibuat.

“Padahal, keuntungan terbesar sebenarnya ada pada lingkungan yang bersih. Itu nilai yang jauh lebih tinggi dari uang,” tambahnya.

Maka, untuk memperkuat program ini, Damai menilai bahwa, dukungan lebih luas misalnya dari pemerintah daerah maupun desa/kelurahan menjadi sangat penting. Menurutnya, pengelolaan sampah plastik bisa ditampung dalam anggaran di Dinas Lingkungan Hidup atau dana desa/kelurahan.

Atau pemerintah setempat bisa menggandeng perusahaan-perusahaan lokal. Dengan demikian, pemerintah bisa berinisiatif membuat program serupa, agar masyarakat lebih bersemangat membuat Ecobrick. Sehingga, pelan-pelan persoalan sampah yang mencemari lingkungan bisa diatasi.

“Kalau ada program khusus seperti hari ini, maka pengelolaan sampah ini bisa lebih terjamin. Tantangan terberat hari ini memang mindset masyarakat. Mereka ingin Ecobrick langsung menghasilkan uang. Padahal, kalau kita kelola sampah dengan baik, dalam jangka panjang justru menghemat banyak biaya dan membuat lingkungan lebih sehat,” urainya.

Kendati demikian, Damai bersyukur karena kini di lingkar Tambang Emas Martabe, masyarakat secara perlahan mulai sadar bahwa, Ecobrick bukan hanya sebuah botol berisi sampah plastik, melainkan sebuah simbol perubahan. Dari rumah-rumah warga ke depan, ia berharap akan lahir semangat baru untuk mengelola sampah lebih bijak.

“Ecobrick mungkin tidak akan menggantikan batu bata secara penuh. Tapi di balik setiap botol plastik padat itu, tersimpan harapan besar yaitu, lingkungan yang lebih bersih, keluarga yang lebih sehat, dan generasi yang lebih peduli untuk Bumi yang lestari di masa-masa mendatang,” pungkasnya mengakhiri bincang-bincang dengan wartawan. (Reza FH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *